Daán yahya

Oleh: Hasanul Rizqa

Sebagian kaum Arab di Makkah pra-Islam meninggalkan tauhid yang diajarkan Nabi Ibrahim.

Makkah berada pada ketinggian lebih dari 300 meter di atas permukaan laut. Wilayah seluas 1.200 km persegi di Hijaz, Jazirah Arab, ini dikelilingi beberapa gunung, termasuk Jabal Abu Qubais dan Qa’qaan. Sumur Zamzam menjadi sumber air andalan kota yang beriklim gurun tersebut sejak empat ribu tahun silam hingga saat ini.

 

Pusat kota ini adalah Ka’bah, Masjidil Haram, yang diyakini sebagai masjid pertama di muka bumi. Bangunan tersebut ditegakkan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Penduduk Makkah memandang keduanya sebagai leluhur yang utama.

 

Pada mulanya, masyarakat Makkah setia dengan ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, yakni menyembah hanya kepada Allah SWT serta tidak menyekutukan-Nya. Namun, dari waktu ke waktu keyakinan tauhid itu memudar. Sebagian warga kota tersebut, termasuk kalangan elitenya, mudah dipengaruhi paganisme, yaitu kepercayaan yang memuja alam dan menyembah banyak dewa.

 

Orang pertama yang memperkenalkan paganisme kepada bangsa Arab adalah Amr bin Luhaiy bin Qam'ah. Ia merupakan pemimpin Suku Khuza'ah yang terbiasa mengadakan perjalanan jauh ke luar Jazirah. Sejarawan dari abad kesembilan Ibnu Hisyam, sebagaimana dinukil Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, menerangkan kisahnya.

 

Suatu ketika, Amr bin Luhay menyambangi Negeri Syam untuk memenuhi beberapa urusannya. Ia pun tiba di Ma’ab, kawasan Balqa'. Waktu itu, kota tersebut dihuni orang-orang Amalek, yang namanya merujuk pada Amlaq bin Lawidz bin Sam bin Nabi Nuh AS.

 

Amr mendapati, kebanyakan penduduk lokal melakukan ritual-ritual pemujaan terhadap patung. “Apa patung-patung yang kalian sembah itu?” tanya Amr kepada mereka.

 

“Patung-patung itu kami sembah untuk meminta hujan, sehingga kami diberi hujan. Kami meminta kemenangan, sehingga kami diberi kemenangan,” jawab tokoh setempat. Ternyata, penjelasan itu membuatnya kagum.

 

“Maukah kalian memberikan kepadaku satu di antara patung-patung itu, yang bisa kubawa ke negeriku?” pinta Amr.

 

Mereka pun memberikan kepadanya sebuah patung yang bernama Hubal. Begitu kembali ke Makkah, Amr meletakkan Hubal di sisi Ka'bah. Kemudian, ia mengimbau orang-orang untuk menghormati berhala ini, khususnya saat sedang bertawaf atau sebelum meninggalkan Masjidil Haram.

 

Lambat laun, ajakan itu diterima luas masyarakat. Dari generasi ke generasi, mayoritas penduduk Makkah semakin jauh dari millah (jalan) Ibrahim. Ka’bah pun menjadi kotor karena dipenuhi dengan banyak berhala.

 

Menurut al-Buthy, tampak adanya kontradiksi kaum musyrikin Makkah. Di satu sisi, mereka dengan bangga mengaku sebagai keturunan Nabi Ibrahim AS. Di sisi lain, mereka justru mengikuti ajaran yang bersumber dari luar Jazirah Arab, paganisme, sehingga meninggalkan esensi millah Ibrahim—menyembah hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya.

DOK WIKIPEDIA

Aneka berhala

Abdul Aziz dalam Chiefdom Madinah: Kerucut Kekuasaan pada Zaman Awal Islam (2016) menuturkan, setiap kabilah Arab di Makkah pada abad keenam memiliki berhala pujaan masing-masing. Bagaimanapun, Hubal terus menjadi sesembahan yang paling dimuliakan oleh seluruh mereka.

 

Di depan patung tersebut, orang-orang musyrik dari pelbagai kalangan, mulai dari rakyat jelata hingga elite politik, membungkuk-bungkuk dan memelas. Mereka memohon keberkahan dan perlindungan dari rupa-rupa malapetaka kepada benda mati itu.

 

Berhala orang-orang Arab pada zaman pra-kenabian Rasulullah SAW umumnya terbuat dari berbagai bahan. Di antaranya adalah kayu, tembaga, besi, batu, dan bahkan perak atau emas. Bentuknya dikondisikan menyerupai manusia atau hewan.

 

Sebagai contoh, Hubal yang diterima Amr bin Luhay dari Syam berbentuk sesosok orang yang patah tangan kanannya. Berhala ini dipahat dari bahan batu akik merah. Belakangan, kaum musyrikin Makkah memperbaiki tangan sesembahannya itu dengan emas.

 

Selain Hubal, ada sekitar 360 berhala yang berjejalan di sekitar Ka'bah pada masa Jahiliyah. Yang termasyhur di antaranya adalah al-Lata, al-Uzza, dan Manah. Eksistensi mereka disinggung dalam Alquran, yakni surah an-Najm ayat 19-20.

 

Patung al-Lata dibuat dari batu putih persegi yang diletakkan dalam panggung kubus berbentuk serupa Ka'bah. Berhala itu disembah banyak kabilah, termasuk Quraisy dan Tsaqif di Thaif. Lokasi tempat al-Lata berada dianggap suci. Musyrikin Thaif kerap berthawaf mengelilingi patung tersebut.

 

Al-Uzza disembah mayoritas kaum pagan dari Bani Ghafatan di Wadi Nakhlah, sebelah timur Makkah. Namun, masyarakat Quraisy dan Tsaqif juga turut menyucikannya. Berhala itu terbuat dari kayu pohon samurah milik Suku Ghafatan. Sama seperti penduduk Thaif, mereka juga membuat rumah-rumahan mirip Ka'bah sebagai tempat al- Uzza bersemayam. Lokasinya dinamakan Ka'batu Ghafatan alias “'Ka'bahnya masyarakat Ghafatan.”

 

Manah disembah kabilah al-Aus dan al- Khazraj yang bermukim di Yasrib (Madinah). Bagaimanapun, tempat pemujaannya berlokasi bukan persis di kota tersebut, melainkan pesisir Qadid, yakni titik antara Makkah-Yastrib. Kabilah Ghatarif dari Bani Azad melayani para peziarah yang hendak menyembah Manah di sana. Berhala tersebut dibuat dari batu. Bentuknya berupa seorang perempuan.

Enggan mengikuti jalan kemusyrikan, orang-orang demikian berpegang teguh pada akidah tauhid.

Jahiliyah

Dengan menjadi penyembah berhala, mereka tidak lantas menafikan eksistensi Allah SWT. Bagi orang-orang musyrik ini, Allah ada. Namun, mereka menganggap bahwa seseorang yang hendak menyembah kepada-Nya mesti melalui berhala-berhala sebagai perantara.

 

Kaum musyrikin ini juga mengimani adanya malaikat. Akan tetapi, tanpa argumentasi yang masuk akal mereka mengeklaim bahwa para malaikat adalah “anak Allah.” Bahkan, seperti disinggung dalam Alquran surah ash-Shaffat, orang-orang kafir ini menyebut bahwa malaikat adalah “anak perempuan Allah.”

 

Padahal, mereka sendiri malu apabila mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak perempuan. Tidak jarang seorang bapak menguburkan anak perempuannya hidup-hidup pada zaman Jahiliyah.

 

“Tanyakanlah (wahai Muhammad) kepada mereka (orang orang kafir Mekkah), apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki-laki, atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)? Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka dengan kebohongannya benar-benar mengatakan, ‘Allah beranak.’ Dan sesungguhnya mereka benar benar orang yang berdusta.

 

Apakah Tuhan memilih (mengutamakan) anak-anak perempuan daripada anak laki-laki? Apakah yang terjadi padamu? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan? Maka apakah kamu tidak memikirkan? Atau apakah kamu mempunyai bukti yang nyata?” (QS ash-Shaffat: 149-156).

 

Penghambaan terhadap Hubal, al-Lata, al-Uzza, Manah, ataupun ratusan berhala lainnya hanya menghinakan bangsa Arab. Mereka terjurumus begitu jauh dalam kondisi Jahiliyah. Padahal, leluhur mereka mewariskan ajaran yang hanif, tauhid.

 

Bagaimanapun, tidak sedikit yang menyadari bahwa masyarakat terimbas buruk dari paganisme. Enggan mengikuti jalan kemusyrikan, orang-orang demikian berpegang teguh pada akidah tauhid. Mereka mengikuti tata cara hidup al-hanafiyah. Ciri-cirinya antara lain, mereka meyakini adanya hari kebangkitan dan hari penghimpunan (yaumul mahsyar).

 

Mereka menolak klaim musyrik yang menyebut, manusia yang mati tidak akan dibangkitkan dan ditanya perbuatan-perbuatannya di akhirat. Mereka bukan hanya meyakini kehidupan setelah mati, tetapi juga berharap bahwa Allah SWT akan memberikan perlindungan.

 

Sebab, Dia Yang Maha Esa akan memberikan balasan yang setimpal bagi setiap orang sesuai amal perbuatannya. Syekh al-Buthy menyebut beberapa nama pengikut setia Millah Ibrahim pada masa sebelum kenabian Rasulullah SAW.

 

Di antara mereka adalah Qass bin Sa'idah al-Iyyadi, Ri'ab asy-Syinni, dan Buhaira. Sosok yang tersebut akhir itu adalah sang rahib yang ditemui oleh Muhammad SAW. Itu terjadi kala beliau masih 12 tahun dan sedang menemani pamannya, Abu Thalib, berdagang di Suriah.

DOK REUTERS

Sang Nabi dan Kabar Perutusannya

Para sejarawan pada umumnya mengaitkan mawlidu an-Nabiy atau kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan peristiwa penyerangan yang dilakukan pasukan bergajah terhadap Ka’bah di Makkah. Masyarakat Arab menyebut momen invasi itu sebagai Tahun Gajah—yang bertepatan dengan 570 Masehi. Alquran mengabadikan kegagalan bala tentara Abrahah itu dalam surah ke-105, al-Fiil.

 

Seorang sahabat Nabi SAW, Abdullah bin Abbas menyatakan bahwa Rasulullah SAW lahir pada Tahun Gajah. Namun, seperti diungkapkan Husain Haekal dalam Hayat Muhammad, muncul pernyataan-pernyataan lain. Menurut beberapa sumber sejarah, beliau telah lahir 15 tahun sebelum penyerangan Abrahah. Ada pula yang menyebut, Rasul SAW lahir 30 atau 70 tahun sesudah peristiwa historis itu.

 

Ragam pendapat juga berkelindan perihal bulan lahirnya al-Musthafa. Sebagian besar pakar sirah mengatakan, beliau lahir pada bulan Rabiul Awal. Ada pula yang berkata, bulannya adalah Muharram. Beberapa memandang, Rasul SAW dilahirkan pada Safar, Rajab, atau Ramadhan.

 

Perbedaan pandangan pun terjadi mengenai hari kelahiran beliau. Ada yang berkata, waktunya adalah malam kedua Rabiul Awal. Ada pula yang mengatakan, malam kedelapan atau kesembilan bulan yang sama.

 

Bagaimanapun, kebanyakan sejarawan berpegang pada pernyataan, Nabi SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah. Di antara mereka yang menyepakati hal itu adalah Ibnu Ishaq, salah seorang penulis sirah nabawiyyah terawal.

 

Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah menuturkan berbagai riwayat tentang kejadian-kejadian luar biasa menjelang kelahiran Rasulullah SAW. Ibnu Sa'd meriwayatkan, Siti Aminah binti Wahab, yakni ibunda Nabi SAW berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar, menyinari istana-istana di Syam.”

 

Adapun al-Arbadh bin Sariyah meriwayatkan, tiga peristiwa berlangsung tepat ketika Rasul SAW lahir. Pertama, runtuhnya belasan pilar istana Kisra, raja Persia. Kedua, padamnya api sesembahan kaum Majusi Persia, padahal api itu telah menyala terus-menerus selama lebih dari seribu tahun. Ketiga, amblesnya beberapa gereja di sekitar Buhairah.

Bahkan, kalangan Yahudi pun sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sudah menyebut-nyebut sosok beliau.

Jalaluddin as-Suyuti dalam Khasaishul Kubra mengatakan, Nabi Muhammad SAW lahir tidak seperti umumnya bayi biasa. Begitu keluar dari rahim Siti Aminah, Rasul SAW sujud dan lalu mengangkat kedua tangannya, selayaknya orang sedang berdoa. Beliau pun lahir dalam kondisi sudah dikhitan.

 

Menurut Syekh Sulaiman al-Bujairami, seperti dinukil dari laman Nahdlatul Ulama, selain Nabi Muhammad ada 14 nabi yang diciptakan atau lahir dalam keadaan demikian. Mereka adalah Nabi Adam, Nabi Syits, Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh, Nabi Luth, Nabi Syu’aib, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Sulaiman, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, Nabi Isa, dan Nabi Handzalah bin Shafwan.

 

Hal unik lainnya adalah, beliau menjadi insan pertama yang memakai nama “muhammad.” Kata itu berasal dari bentuk hamdun yang berarti ‘pujian.’ Abdul Muthallib adalah pemberi nama tersebut.

 

Sebelumnya, kakek Rasulullah SAW itu bermimpi melihat rantai-rantai perak keluar dari punggungnya. Setiap ujungnya membentang ke segala arah penjuru mata angin dan tegak lurus ke langit. Kemudian, rantai itu berubah menjadi pohon berdaun lebat serta memancarkan cahaya. Seluruh manusia berteduh di bawah kerindangannya.

 

Keesokan harinya, Abdul Muthallib mendatangi seorang ahli penafsir mimpi. Dikatakan kepadanya, kelak ia akan memiliki seorang anak keturunan yang berpengaruh besar. Anak ini akan dipuji penduduk langit dan bumi. Maka, begitu Siti Aminah melahirkan, bayi tersebut diberinya nama “muhammad”, yang berarti ‘orang yang memperoleh banyak pujian.’

dok WIKIPEDIA

Kabar kedatangan

Dalam Alquran, disebutkan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani sesungguhnya mengetahui kabar kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah yang terakhir. Bahkan, mereka familiar dalam mengenal beliau, sebagaimana mengenal anak-anaknya sendiri.

 

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui” (QS al-Baqarah: 146).

 

“Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepadanya, mereka mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman (kepada Allah)” (QS al-An’am: 20).

 

Begitu keras upaya mereka dalam menyembunyikan berita tentang kedatangan Rasulullah SAW sebagai utusan Allah yang terakhir itu. Padahal, Taurat atau Kitab Perjanjian Lama telah mencantumkan petunjuk tentang kenabian beliau.

 

Misalnya, dalam Kitab Ulangan (33:2)—bagian dari Perjanjian Lama—disebutkan bahwa “Tuhan telah datang dari Tursina dan telah terbit bagi mereka dari Seir dan kelihatan ia dengan gemerlapan cahaya-Nya dari Gunung Paran.”

 

Teks itu sesungguhnya berbicara tentang kedatangan risalah Islam yang berpancar dari Makkah. Sebab, Gunung Paran menurut Kitab Kejadian (21:21) dalam Perjanjian Lama, adalah tempat Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim AS memperoleh air (Zamzam).

 

Dengan demikian, yang tercantum dalam Kitab Ulangan itu mengisyaratkan tempat terpancarnya ajaran Allah yang dibawa oleh nabi, yang datang dari tempat Nabi Ismail AS dan ibundanya mendapatkan air Zamzam. Siapakah nabi yang datang dari Gunung Paran membawa ajaran Ilahi itu? Adakah selain Nabi Muhammad SAW? Faktanya, sejarah membuktikan bahwa hanya Nabi Muhammad SAW sendiri.

Republika/amin madani

Kisah perjumpaan Nabi Muhammad SAW ketika masih berusia anak-anak dengan Pendeta Buhaira adalah salah satu penanda jelas. Yakni, bahwa para ahli kitab memang sudah mengetahui tanda-tanda sosok nabi akhir zaman.

 

Buhaira merupakan salah seorang pendeta Nasrani yang berpegang pada tauhid. Dalam arti, ia meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah; bahwa Nabi Isa AS adalah utusan-Nya. Saat melihat Nabi Muhammad SAW kecil dan Abu Thalib di Syam, ia menyaksikan tanda-tanda yang luar biasa. Misalnya, naungan awan yang selalu mengikuti ke manapun beliau berada.

 

Maka, Pendeta Buhaira mengundang Abu Thalib ke kediamannya. “Maaf, Tuan, apakah hubunganmu dengan anak ini? Apakah dia adalah putramu?” tanyanya kepada Abu Thalib.

 

“Oh, bukan. Dia keponakanku,” jawab sang tamu.

 

“Aku sudah menduganya. Apakah ayahnya wafat terlebih dahulu saat ia masih dalam kandungan?”

 

“Benar,” jawab Abu Thalib.

 

“Ketahuilah, bahwa aku adalah seorang pendeta yang telah mempelajari kitab-kitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Sekarang, segera bawa pulang anak ini kembali ke negerimu dan jagalah dia dari orang Yahudi. Sebab, demi Allah, jika mereka melihatnya di sini, pasti mereka akan berbuat jahat kepadanya. Ketahuilah, keponakanmu ini kelak akan memegang urusan yang sangat besar,” katanya.

 

Bahkan, kalangan Yahudi pun sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW sudah menyebut-nyebut sosok beliau. Dikisahkan, seorang Yahudi yang ahli sejarah pernah berkata kepada dua suku besar di Yastrib (Madinah), Aus dan Khazraj. Katanya, “Seorang nabi akan diutus tidak lama lagi. Kami akan mengikutinya dalam menumpas kalian, selayaknya kalian adalah kaum Ad dan Iram.”

 

Nyatanya, ketika Rasulullah SAW akhirnya berada di Madinah, kebanyakan Yahudi justru enggan taat. Bahkan, mereka menjadi musuh dalam selimut yang kerap mengganggu ketenteraman. Hal itu terjadi lantaran, orang-orang Yahudi merasa dengki bahwa utusan Allah yang terakhir berasal dari Bani Ismail, bukan Bani Israil seperti halnya mereka.

top

Paganisme

Mulanya

Pra-Islam